Jumat, 27 Januari 2012

TEOLOGI ISLAM : “ALIRAN-ALIRAN SEJARAH ANALISA PERBANDIANGN”


NAMA : HASAN NURDIN
NIM : 1211101003
JURUSAN : AQIDAH FILSAFAT



RANGKUMAN DARI BUKU ;
TEOLOGI ISLAM : “ALIRAN-ALIRAN SEJARAH ANALISA PERBANDIANGN”

Dalam istilah Arab ajaran-ajaran dasar disebut usul al din dan, oleh karna itu buku yang membahas soal-soal telogi dalam Islam disebut kitab Usul al-din. Teologi dalam Islam juga disebut kata Tauhid. Di indonesia Ilmu Tauhid kurang mendalam pembahasan tidak besifat Filosofis dalam Islam sebenarnya teologi berbagi aliran-aliran, ada aliran liberal, ada alitran tradisonal, dan yang membuat pemahaman Islam itu menjadi sepit adalah adanya fikih. Islam sebenanya tidak hannya mempunyai asfek Fikih saja, tetapi  punya aspek-aspek lain, ada aspek teologi, aspek sejarah, aspek mistik, aspek filsafat, aspek budaya dan aspek ilmu pengetahuan dan lain-lain.
Lahirnya Ilmu Tauhid
Berikut ini ringkasan dari uraian Ahmad Amin dalam bukunya Dhuha Al-Islam mengenai kedua factor tersebut;
·         Faktor Intern
Yang dimaksud dengan faktor intern adalah factor yang berasal dari islam sendiri. Faktor-faktor tersebut adalah :
a.       al-Qur’an disamping berisi masalah ketauhidan, kenabian. Dan lain- lain berisi pula semacam apologi dan polemic, terutama terhadap agama-agama yang ada pada waktu itu, misalnya :
Surat al-Maidah ayat 116 berisi penolakan terhadap ketuhanan Nabi Isa. Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman:
"Hai Isa putera Maryam, Adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah?". Isa menjawab: "Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). jika aku pernah mengatakan Maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib-ghaib". (Al- Maidah 116).

b.      Pada periode pertama masalah keimanan tidak dipersoalkan secara mendalam. Setelah Nabi wafat dan Ummat islam bersentuhan dengan kebudayaan dan peradaban asing, mereka mulai mengenal Filsafat, merekapun menfilsafati al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang secara lahir nampak satu sama lain tidak sejalan, bahkan kelihatan bertentangan. Hal tersebut perlu dipecahkan sebaik mungkin, dan untuk memecahkannya perlu sutu ilmu tersendiri.
c.       Masalah politik, terutama yang berkenaan dengan khalifah, menjadi factor pula dalam kelahiran ilmu tauhid.
·         Faktor Ekstern
Yang dimaksud dengan faktor ekstern ialah factor yang datang dari luar islam. Faktor tersebut antara lain ialah pola piker ajaran agama lain yang dibawa oleh orang tertentu, termasuk Umat Islam yang dahulunya menganut agama lain ke dalam ajaran islam
a.       Masa Rashulullah Saw.
Masa Rashulullah Saw meruakan periode pembinaan aqidah dan peraturan-peraturan dengan prinsip kesatuan umat dan kedaulata Islam. Segala masalah yang kabur dekembalikan kepada Rashulullah Saw untuk dipertanyakan, sehingga beliau berhasil menghilangkan perpecahan diantara umatnya. Dengan demikian Tauhid pada masa Rashulullah tidak sampai kepada perdebatan dan polemic yang berkepanjangan, karena Rashulullah sendiri yang menjadi penengahnya.
b.      Masa Khulafaurrasyidin
Pada zaman khalifah Abu Bakar ( 632-634 M ) dan Umar bin Khattab ( 634-644 ) problema keagamaan juga masih relative kecil termasuk masalah aqidah. Tapi setelah Umar wafat dan Ustman bin Affan naik tahta ( 644-656 ) fitnah pun timbul. Abdullah bin Saba, seorang Yahudi asal Yaman yang mengaku Muslim, salah seorang penyulut pergolakan. Meskipun itu ditiupkan, Abdullah bin Saba’ pada masa pemerintahan Ustman namun kemelut yang serius justru terjadi di kalangan Umat Islam setelah Ustman mati terbunuh ( 656 ). Perselisihan di kalangan Umat islam terus berlanjut di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib ( 656-661 ) dengan terjadinya perang saudara, pertama, perang Ali dengan Zubair, Thalhah dan Aisyah yang dikenal dengan perang jamal, kedua, perang antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Pertempuran dengan Zubair dan kawan-kawan dimenangkan oleh Ali, sedangkan dengan Muawiyah berakhir dengan tahkim ( Arbritrase ). Hal ini berpengaruh pada perkembangan tauhid, terutama lahir dan tumbuhnya aliran-aliran
c.       Masa Bani Umayah ( 661-750 M )
Dalam masa ini kedaulatan Islam bertambah kuat sehingga kaum muslimin tidak perlu lagi berusaha untuk mempertahankan Islam seperti masa sebelumnya. Kesempatan ini digunakan kaum muslimin untuk mengembangkan pengetahuan dan pengertian tentang ajaran Islam. Lebih lagi dengan berduyun-duyun pemeluk agama lain memeluk Islam, yang jiwanya belum bisa sepenuhnya meninggalkan unsur agamanya, telah menyusupkan beberapa ajarannya. Masa inilah mulai timbul keinginan bebas berfikir dan berbicara yang selama ini didiamkan oleh golongan Salaf.
Masalah aqidah menjadi perdebatan yang hangat di kalangan umat islam. Di zaman inilah lahir berbagai aliran teologi seperti Murji’ah, Qadariah, Jabariah dan Mu’tazilah
Penghujung abad pertama Hijriah muncul pula kaum Khawarij, suatu kelompok yang keluar dari barisan sahabat Ali bin Abi thalib, dia (red; Ali bin Abi Thalib) dipandang sudah kafir, karena dia mau menerima hukum manusia dan mengabaikan hukum Tuhan. Walaupun pada mulanya mereka adalah pengikut Ali bin Abi Thalib, akhirnya memisahkan diri karena alasan politik. Sedangkan kelompok yang tetap setia kepada Ali disebut dengan kelompok Syi’ah.
d.      Masa Bani Abbasiyah ( 750-1258 M ).
Pada zaman Bani Abbas, Filsafat Yunani danSains banyak dipelajari Umat Islam. Masalah Tauhid mendapat tantangan cukup berat. Kaum Muslimin tidak bisa mematahkan argumentasi filosofis orang lain tanpa mereka menggunakan senjata filsafat dan rasional pula. Untuk itu bangkitlah Mu’tazilah mempertahankan ketauhidan dengan argumentasi-argumentasi filosofis tersebut. Namun sikap Mu’tazilah yang terlalu mengagungkan akal dan melahirkan berbagai pendapat controversial menyebabkan kaum tradisional tidak menyukainya. Akhirnya lahir aliran Ahlussunnah Waljama’ah dengan Tokoh besarnya Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi.
Aliran-Aliran
1.      Khawarij
Seperti yang telah dijelaskan di atas, khawarij pada awalnya adalah salah satu kelompok atau barisan dari pendukung Ali. Namun karena ada kekecewaan  dari kelompok khawarij atas keputusan Ali yang menerima tawaran musyawarah ketika perang jamal terjadi dengan Muawiyah. Kelompok yang tidak sepakat menerima keputusan itu adalah kkhawarij, dan khawarij menuding bahwa Ali telah kafir, karena beliau mau menerima hasil keputusan muyawarah ( Tahkim/arbitrase ), dan mengabaikan hukum Tuhan. Secara umum ajaran-ajaran pokok khawarij adalah :
1.      Orang islam yang melakukan dosa besar adalah kafir.
2.      Orang-orang yang terlibat dalam perang jamal ( antara Aisyah, Thalhah dan Zubair dengan Ali bin Abi Thalib ) dan para pelaku tahkim termasuk yang menerima dan membenarkan dihukumkan kafir.
3.       Khalifah harus dipilih langsung oleh Rakyat
2.      Murji’ah
Satu hal yang sulit diketahui dengan pasti ialah siapa sebenarnya pendiri atau tokoh Ulama’ aliran ini. Menurut Syahrastani, Husain bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib adalah orang yang pertama yang menyebut irja. Akan tetapi, hal ini belum menunjukkan bahwa ia adalah pendiri Murji’ah. Hal-hal yang melatar belakangi kehadiran Murji’ah antara lain :
1.      Adanya perbedaan pendapat antara orang Syi’ah dan khawarij.
2.      Adanya pendapat yang menyalahkan Aisyah dan kawan-kawan yang menyebabkan terjadinya perang jamal.
3.      Adanya pendapat yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Ustman bin Affan .
Adapun ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh murji’ah dalam perkembangan ilu tauhid dan tokohnya adalah;
a.       Iman hanya membenarkan di dalam hati.
b.      Orang islam yang melakukan dosa besar tidak dihukumi kafir, selama ia engakui 2 kalimah syahadah.
c.       Hukum terhadap perbuatan manusia ditangguhkan hingga hari kiamat.
Sedangkan tokoh yang terkenal dalam sekte murji’ah adalah Hasan bin Bilal Al- Muzni, Abu Sallat al Samman dan Dirar bin Umar. Tokoh Murji’ah yang moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib
3.      Qodariyah
Madzhab Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H ( 689 M ). Ajaran- ajaran ini banyak persamaannya dengan Mu’tazilah. Tokoh Ulama’ Qadariyah adalah Ma’bad Al-Juhari dan Ghailan Al-Dimasqi. Pokok aliran Qadariyah antara lain adalah manusia mempunyai kemampuan untuk bertindak ( Qudrah ) dan memilih atau berkehendak
Kehadiran Qadariyah merupakan isyarat penentangan terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah, aliran ini selalu mendapat tekanan dari pemerintah, namun paham Qadariyah tetap berkembang. Dalam perkembangannya, paham ini tertampung dalam madzhab mu’tazilah.
4.      Jabariyah
Madzhab ini muncul bersamaan dengan kehadiran Qadariyah. Paham Qadariyah pada mulanya dipelopori oleh Ja’d bin Dirham. Pokok-pokok paham Jabariyah Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih.
Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang yang digerakkan oleh dalang tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
5.      Mu’tazilah
Mu’tazilah lahir pada abad ke 2 H dengan Tokoh utamanya Washil bin Atha’. Pokok-pokok ajaran Mu’tazilah. Ada 5 prinsip ajaran Mu’tazilah
yang dirumuskan oleh Tokoh besar aliran ini, Abu Huzail Al-Hallaf :
1.      Al-Tauhid (keesaan Tuhan )
2.      Al-Adl ( keadilan-keadilan )
3.      Al-Wa’du wal Wa’id ( janji dan ancaman )
4.      Al-Manzilah bain al- Manzilatain
5.    Amar Ma’ruf nahi Munkar.
Tokoh-tokoh Mu’tazilah, Washil bin Atha’, Abu Hudzail Al-Hallaf, Al-Nazzam, Al-Jubb’ai.
6.      Ahlussunah waljama’ah
Ahlussunnah berarti pengikut Sunnah Nabi Muhammad SAW, dan Jama’ah artinya Sahabat Nabi, jadi Ahlussunnah mengandung arti ”sekelompok atau golongan yang mengikuti ajaran atau sunnah Nabi dan Al-Quran”.
Madzhab Ahlussunah Waljama’ah dalam Ilmu Tauhid menggunakan dalil naqli  dan dalil aqli. Dalil naqli ialah dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah Rashulullah Saw. Sedangkan dalil aqli ialah dalil yang akal atau rasio manusia.

AKAL DAN WAHYU
Teologi sebagai Ilmu yang mempelajari ketuhanan yang menggunakan akal dan wahyu, akal sebagai daya fikir yang ada dalam diri manausia, berusaha keras untuk mencapai Tuhan dengan akalnya, dan Wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kemanusia seperti yang dilakukuan oleh para Nabi yang memberikan kabar gembira dan perintah-perintah dari Tuhan untuk mentaatinya dan meyakininya.
Namun setiap golangan atau aliran mempunyai paham yang sedikit berbeda tentang menanggapi anatar akal dan wahyu dan mempunyai empat masalah. Persolan yang pertama kekuasan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dua masalah pokok yang masing-masing bercabang dua. Masalah petama soal mengetahui Tuhan dan masalah kedua soal  baik dan jahat.
sebagian mengatakan sebelum turunya wahyu akal pun mampu mengetahi yang baik dan yang jahat.  dan sebagian ada yang mengatakan bahwa akal itu tidak akan pernah sempurna untuk memmahami yang baik dan yang jahat, karena sebelum adanya wahyu turuan tidak adal larangan atau kewajiban-kewajiaban untuk mengetahui Tuhan, dan ada juga yang mengatakan memang akal itu mampu untuk mengetahui yang baik dan yang jahat, namun wahyu lah yang akan memperkuat mana yang baik dan yang jahat dan yang membing-bing kepada Tuhan.
Al-Ghazali, al-Asy’ari dan al- Baghdadi, juga berpendapat bahwa akal tak dapat membawa kewajiaban-kewajiaban bagi Manusia, Kewajiban-kewajiban ditentukan oleh wahyu, “degan demikan kewajiban untuk mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang jahat hanya dapat diketahui dengan perantara wahyu  paham ini, bagi al-Ghozali merupakan sifat bagi perbuatan-perbuatan dan sesuatu perbuatan sebenarnya besifat wajib kalau tidak dilakukan perbuatan itu menimbulkan kemudaratan bagi manusia kelak di akhirat”. yang tersebut akhirnya ini dapat diketahui kewajiban-kewajiban dapat diketahui menusai hanya dengan wahyu.
Adapun soal mengetahui Tuhan, maka uraian al-Ghazali bahwa hujud Tuhan dapat diketahui melalui dengan pemikiran tentang alam yang bersifat dijadikan. Mengandung arti bahwa soal itu dapat diketahui oleh aka. Hal ini diperkuat oleh keterangan al-Ghazali selanjutnya bahwa objek pengetahuan terbagi menjadi tiga; yang dapat diketahui dengan akal saja, yang dapat diketahui dengan wahyu saja dan yang dapat diketahui oleh akal dan wahyu, wujud Tuhan yang dimaksud oleh al- Ghazali dalam katagori yang dapat diketahui oleh wahyu tanpa akal.Namun ada sedikit berbeda dengan pemka-pemuka Asy’ariah. Asy’ariah mengatakan semua kewajiban diketahui dengan wahyu dan semua pengetahuan diketahui oleh akal.    
Yang memberi daya terbesar kepada akal dan fungsi terkecil kepada wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan. Tetap dala, sistem tiologi, yang memberikan daya terkecil kepada akal dan fungsi terbesar kepada wahyu, manusia dipandang lemah dan tidak merdeka tegasnya, manusia, dalam aliran Mu’tazilah, dipandang berkuasa dan merdeka sedangkan manusia dalam aliran Asy’ariah dipandang lemang dan jauh kurang merdeka. Di dalam aliran muturidiah manusia mempunyai kedudukan menang di antara manusia dalam pandangan Mu’zailah dan manusia dalam pandangan Asy’ariah. Dalam pandangan cabang Samarkand lebih berkuasa dan merdeka daripada manusia.
Petentangan anatara kaum Mu’tajalah dengan kaum Asy’ariah dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat-sifat itu mestilah kekal seperti halnya dengan zat Tuhan. Kaum mutazaliah mencoba menyelesiakan persolan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasan, sebagaimana dijelaskan oleh al-Asy’ari, besifat negative.
Logika mengatakan Tuhan, karena besifat imateri, tak dapat dilihat dengan mata kepala. Dan inilah pendapat kaum Mu’tazilah. Sebagai argument, Abd al-jabbar, mengatakan Tuhan tak mengambil tempat dan dengan demikan tak dapat dilihat, karena yang dapat dilihat hanyalah yang mengambil tempat. Dan juga kalau Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, Tuahan akan dapat dilihat sekarang dalam ala mini juga. Dan tak ada orang yang melihat, namuan untuk kaum Asy’ariah, sebaliknya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat tajassum atau anthropomorphis, sungguh pun sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat jasmani yang ada dalam alam materi ini. Tuhan berkuasa mutlak dan dapat mengadakan apa saja.
Semua aliran teologi dalam Islam, baik Asy’ariah, Maturidiah apalagi Mu’tazilah sama-sama mempergunakan akal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teologi yang timbul di kalangan umat Islam. Perbedaan dalam derajat kekuatan yang diberikan kepada akal. Kalau Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat, Asy’ariah sebaliknya berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang lemah.
Teolog-teolog yang berpendapat kepada wahyu. Dalam hal ini perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu hanyalah perbedaan dalam interpretasi menganai ayat-ayat al-Quraan dan Hadis. Dengan demikan timbulah teologi liberal seperti yang terdapat dalam aliran Mu’tazilah. Teolog-teolog yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang lemah memberikan interpretasi harfi atau dekat dengan arti harfi dari teks al-Qur’an dan hadis. Sikap demikan menimbulkan teologi tradisional sebagai mana yang ada dalam aliran asy’ariah.
Dalam masyarakat Islam, dengan pembahsan yang bersifat filosofis, sukar dapat ditangkap oleh golongan awan. Tetapi teologi tradisional, dengan uraiannya yang sederhana, mudah dapat diterima oleh kaum awam.
Pada hakikatnya semua aliran tersebut, tidaklah kelar dari Islam, tetapi tetap dalam Islam. Dengan demikan tiap orang Islam bebas memilih selah satu dari aliran-aliran teologi tersebut, hal ini tidak ubahnya pula dengan kebebasan tiap orang Islam memilih mazhab fikih mana yang sesuai dengan jiwa dan kecenderuangannya. Disinilah kelihatan hikmat ucapan Nabi Muhamad SAW: “perbedaan paham di kalangan umatku membawa rahmat.“ memang rahmat besarlah kalau kaum terpelajar menjumpai dalam Islam aliran-aliran yang sesuai dengan jiwa dan pembawaannya, dan kalau pula kaum awan memperoleh dalamnya aliran-aliran yang dapat mengisi kebutuahan rohaninya

0 komentar:

Posting Komentar